I Don’t Want to be A Queen!
Masih teringat jelas kalimat pamungkas almarhum Bapak, ketika anak-anaknya malas belajar “Pokoknya kalau kalian gak dapat sekolah negeri, Bapak gak akan menyekolahkan kalian!”
Saat itu sekolah negeri merupakan tolok ukur dan bagian dari kebanggaan, baik murid sekolah itu maupun orangtuanya. Belum banyak sekolah swasta yang bagus, apalagi dengan embel-embel pendidikan internasional. Kalau seorang anak menempuh pendidikan di sekolah swasta maka anggapan yang timbul adalah kecerdasannya tidak mampu untuk bisa bersaing di sekolah negeri. Dan pastinya orangtua tidak bangga dengan status anaknya yang bersekolah di swasta.
Saya tertarik melihat iklan STM Telekomunikasi di majalah dinding SMP saya. Secara diam-diam saya kumpulkan keberanian dan kelengkapan dokumen untuk mendaftar di sekolah itu. Saya telepon om saya untuk minta uang sebesar biaya pendaftaran. Begitu saya diterima dan menyampaikan berita ini ke orangtua, jelas murka yang saya terima. Padahal dari 1,300 pendaftar seluruh Indonesia, saya termasuk 106 orang yang lulus tes masuk dan diterima.
“Mau jadi apa anak perempuan di STM? Sekolah swasta pula!”
Saya mencoba yakinkan orangtua bahwa sekolah ini berbeda. Dan kemungkinan saya untuk langsung kerja setelah lulus pun lebih terbuka lebar. Dengan berat hati, orangtua mengizinkan saya menempuh pendidikan disini. Dan saya buktikan bahwa pilihan saya tidak salah. Saya diterima kerja di sebuah perusahaan telekomunikasi terkemuka walau saya belum memegang ijazah sekolah. Dan saya terus melanjutkan pendidikan sambil bekerja sampai lulus sarjana, dengan uang dari gaji saya.
Sebelum Bapak pergi meninggalkan dunia ini, beliau menyarankan adik saya untuk kuliah di jurusan telekomunikasi. Walau STT Telkom itu bukan universitas negeri, tapi Bapak tetap memberikan biaya sekolah untuk adik saya. Dari situ saya paham, bahwa Bapak juga merasa pilihan saya tidak salah. Bapak hanya ingin yang terbaik untuk pendidikan anak-anaknya, meskipun beliau sempat berpendapat sekolah negeri adalah yang terbaik. Bapak hanya memperjuangan masa depan anak-anaknya.
Bapak adalah pahlawan saya.
Darinya saya belajar, bahwa saya dan suami juga harus memperjuangkan pendidikan anak-anak kami. Setinggi yang mereka mau, sekuat yang kami mampu. Kami tidak bisa hanya sekedar bertanya, “mau jadi apa kalau sudah besar nanti, nak?” Tapi kami harus bertanya kepada diri kami sendiri, bisa melakukan apa untuk mendukung anak-anak dalam mencapai cita-cita mereka?
I don’t want to be a queen of the world, as long as I can be a hero for my children.
********************************************
Tulisan diatas saya kirim sebagai setoran tugas pertama Pelatihan Menulis Cerita ala Chicken Soup. EYD sudah saya perbaiki, tinggal beberapa masukan dari Trainers di bawah ini yang belum saya kerjakan:
- Cari judul dalam bahasa Indonesia, tapi tetap menjadi jiwa kesuluruhan cerita.
- Tambahkan adegan-adegan yang lebih dramatis, supaya cerita lebih memikat.
Yampuuunn menulis itu tidak gampang yah.
*kalkulator … mana kalkulator*
Lebih mudah main angka dan gadget kayak nya nih.
Eitsss semangka … semangat yah kakaaakkkkk *elap keringet, sambil menguatkan diri sendiri*
6 thoughts on “I Don’t Want to be A Queen!”
pertama kali mampir nih 🙂 salam kenal lagi
You did it mbaaa… Semangaaaatttt !! *ngumpetin kalkulator*
Eitsss…ternyata lagi ikutan pelatihan toch…! c3mun9udh K4kaaa!!! *dilempar kalkulator*
nice story badewei… :))
sepertinya menulis cerita2 kecil rutin setiap hari itu ada bagusnya yaa…, 2 masukan dr trainers mbak de bs saya pakai nih…heeeeee…
tulisan keren! lanjutkaaan.. *pengen ikutan, sayang taunya telat*
eh, beneran ikut pelatihan itu? ckckckck…