Pelajaran hidup dari Dubai
Kepergian saya ke Dubai, memang hanya untuk kerja. Miting selama 1,5 hari atau total 12 jam, sementara perjalanan PP sekitar 20 jam. Tetapi karena saya punya beberapa teman yang tinggal disana, saya putuskan untuk perpanjang masa tinggal disana menjadi 1 hari lebih lama.
Daryatmo (kanan), teman STM yg sudah 1,5thn di Dubai
Alhamdulillah setelah menghubungi mereka via FB, semua menawarkan saya untuk tinggal dirumah mereka. Tapi karena rumah Amo jauh dari hotel tempat saya nginap, saya memilih untuk tinggal di rumah Rani yang kebetulan gak jauh dari hotel. Lagipula saya merasa lebih enak tinggal dirumah teman perempuan. Maaf kalo agak rasis terhadap jenis kelamin hehehe. Jadi sebelum besoknya saya tinggal dirumah Rani, malam tsb saya dan Amo bertemu di Dubai Mall.
Pagi yang cantik diteras apartemen Rani
Amo dan Rani sharing beberapa hal yang menjadi pelajaran berharga untuk saya. Amo saat ini bekerja di salah satu perusahaan telekomunikasi, sementara suami Rani bekerja di sebuah bank pemerintahan setempat dan Rani sendiri melanjutkan Master Psikologi di sebuah universitas Australia disana. Saya mengajukan banyak pertanyaan kepada mereka. Penasaran dengan keberanian mereka memutuskan untuk hijrah dan mengadu nasib di negeri orang.
Mereka bilang sebagian besar orang Indonesia yang tinggal disana memang alasan utama nya untuk mencari uang lebih banyak. Dengan biaya hidup yang 2x lipat Jakarta, tetapi penghasilan mereka bisa 5-10x lipat gaji Jakarta.
Target awal mereka cuma ingin ‘menabung’ selama 2 tahun, setelah itu mereka akan kembali ke Indonesia. Tetapi setelah mereka tinggal disana, mereka jadi betah dan mungkin target 2 tahun tersebut akan molor menjadi 5 tahun atau lebih.
Alasan utama yang mereka sebutkan antara lain:
- Gaji bisa ditabung 50%
- Kehidupan disana sangat teratur, transportasi umum nyaman dan harga mobil + bensin lumayan murah. Mobil Fortuner bisa dibeli dengan harga Rp120jt, sementara bensin hanya Rp 2,500/liter.
- Semua orang disana berbicara dalam bahasa Inggris. Sehingga kendala komunikasi sangat minim.
- Negaranya kecil, jadi kalau mau kemana-mana dekat. Maksimal ditempuh dengan perjalanan 30-60 menit dari ujung ke ujung. Tidak ada macet pun.
- Jam kerja dimulai jam 9 pagi, selesai jam 6-7 malam. Tapi karena daerahnya kecil dan tidak ada macet, mereka cuma butuh 10-20 menit untuk bisa sampai dirumah. Waktu untuk berkumpul dengan keluarga lebih banyak. Coba bandingkan dengan kerja di Jakarta, untuk pulang ke rumah aja butuh waktu 1-2 jam. Sampai rumah, anak sudah pada tidur. Paling puas ketemu anak cuma di akhir pekan. Quality time ini yang sangat berharga dimata mereka.
Tentunya ada beberapa kekurangan:
- Biaya sekolah anak sangat mahal. Masuk TK aja biaya nya mencapai 100jt per tahun
- Jauh dari keluarga, kalo ada apa2 tiket pulang lumayan mahal
- Adanya diskriminasi penduduk lokal dalam hal penggajian. Pribumi yang disebut Emirati, memiliki tunjuangan emirati, sementara pekerja pendatang ya hanya gaji aja. Jadi jangan sakit hati kalo kerjaan sama, posisi sama, tapi gaji gedean mereka hehehe
Diantar keliling kota, begron foto ini: Dubai Flyer
Disana saya belajar bahwa ISLAM tidak sama dengan ARAB, begitu pun sebaliknya. Karena penduduk lokal disana kasar, baik saat berbicara, perilaku maupun saat membawa kendaraan. Dan mereka cenderung pemalas, karena tanpa harus kerja keras tunjangan dari pemerintah pun melimpah. Bahkan untuk wanita yang bekerja kantoran, setiap mereka melahirkan akan menerima upeti dari kantor dan pemerintah. Jadi kerjaan nya cuti melahirkan melulu hehehe. Pemalasnya ini diturunkan ke anak-anak mereka. Kalau kita ke mall di jam kerja (9to5) ya isinya perempuan dan anak-anak, karena banyak dari mereka yang tidak menyekolahkan anak-anaknya.
Wanita di Dubai cenderung glamor. Kerjaan mereka hanya belanja dan belanja. Merek-merek sekelas MNG, Zara, Guess, Paris Hilton gak laku … karena yang mereka buru adalah merek sekelas Aigner, Guci, LV, Hermes, etc. Gamis hitam yang mereka gunakan hanya sebagai simbol bahwa mereka Emiraty alias pribumi. Dibaliknya mereka menggunakan tanktop, skinny jeans, stilleto/high heels, dan tas yang mereka jinjing semuanya dibeli lengkap dengan kotak/dus *kebayang kan harga tas berapa kalo belinya didalam dus*. Jumat malam disana sama dengan malam minggu disini (wiken mereka jumat-sabtu), wanita-wanita ini akan keluar ke tempat umum dengan dandanan yang luar biasa heboh. Kerudung hitam hanya cantolan, karena biasanya mereka sasak tinggi rambutnya dan gak jarang disanggul juga. Semakin malam, semakin tinggi sasakannya. Dan tempat hangout pun menjamur. Apalagi kalo private party yang cuma perempuan-perempuan, wuiihhh artis holiwut kalah heboh dandanannya. Ketika mereka berkunjung ke waterpark, banyak juga yang pakai bikini … dan saat mereka keluar, mereka akan kembali menggunakan gamis hitamnya.
Tentu tidak semua orang Arab seperti itu, tapi begitulah yang saya lihat sebagian besar dari mereka. Menutup aurat bukan dilakukan karena kepatuhan mereka terhadap agama, melainkan hanya sebatas adat dan harga diri yang membedakan mereka sebagai pribumi dengan pendatang. Saya paham sekarang kenapa Nabi diturunkan di tanah sana, mungkin karena akidah mereka yang sedemikian hingga membutuhkan ajaranNYA langsung dari utusanNYA.
Untuk pendatang tidak ada kewajiban untuk menggunakan pakaian tertutup. Hukum disana lebih ditekankan kepada perilaku. Menurut cerita ada seorang pendatang yang bertemu temannya di tempat umum (mall) dan mereka dengan reflek cipika cipiki ditempat. Saat itu ada seorang perempuan lokal bercadar besi (sampai saat ini saya masih tidak habis pikir apa bedanya cadar kain dan besi, dan kenapa mereka menggunakan besi untuk menutupi sebagian wajahnya) yang melihat dan marah-marah. Wanita tsb bilang mereka memberikan contoh yang buruk untuk anak-anaknya. Wanita ini pun langsung melaporkan mereka ke polisi. Akibatnya? mereka dipenjara 1 bulan dan berita ini masuk di koran lokal. Memalukan bukan?
Jadi walaupun kita berjalan dengan pasangan hidup (suami/istri), kita tidak bisa menunjukkan kemesraan didepan umum … bahkan hanya untuk sekedar bergandeng tangan. Sementara kalau pakai baju terbuka tidak masalah selama berkelakuan sopan.
Ah senangnya saya mendapatkan pelajaran baru dari perjalanan ini. Orang bilang “traveling makes you open minded”. Yah karena dengan berpergian ke tempat lain kita akan mempelajari perbedaan, dan ini membuat kita lebih menerima perbedaan itu sendiri.
Semua posting tentang Dubai bisa dilihat disini