Ibu Pekerja
picture taken form gettyimages
“Elo gak konsisten de!”
Saya cuma tersenyum saat seorang sahabat memberikan komentar itu ketika mengetahui bahwa saya memutuskan untuk kembali kerja kantoran padahal baru sebulan sebelumnya saya memutuskan untuk menjadi Full Time Mother at home (FTM) dengan tekad yang sudah bulat ada di hati saya.Tapi keputusan saya untuk bekerja kantoran lagi, juga bukan hal yang mudah untuk diambil. Hati saya tentu berontak, karena saya masih ingin menjalani hari-hari bersama Rafa. Saya memutuskan ini dengan segala pertimbangan atas kebimbangan dalam hati, dengan mendengarkan masukan dan kritik dari banyak orang juga memohon petunjukNYA. Tetapi saya selalu mengingatkan hati dan pikiran bahwa saya hanya akan bekerja dikantor! Saya tidak akan membicarakan masalah pekerjaan dengan orang luar, tidak menulis tentang pekerjaan saya di blog, juga tidak akan membawa pekerjaan saya pulang ke rumah.
Komentar sahabat ternyata tidak cuma sampai disitu, tapi beliau malah mengajukan pertanyaan yang tidak kalah mengganggu pikiran:
“Apa yang elo cari sih de? Kalo cuma mikirin materi, gak ada abisnya sist!”
Mhmmmm…saya perlu menarik napas dulu untuk menjawab pertanyaan ini.
Pertanyaan yang simple tapi membutuhkan pemikiran yang dalam. Tapi karena pertanyaan itu datang dari seorang sahabat yang kebetulan saat mengajukan pertanyaan ini beliau masih single (baru menikah beberapa hari lalu), saya bisa memahaminya.
Saya punya seorang teman dunia maya (sampai sekarang kami belum pernah berhasil bertemu di dunia nyata) yang bisa menjadi contoh sukses ibu bekerja. Saya juga mempunyai tetangga yang meminta jangan salahkan dirinya kalau harus bekerja. Tapi apa iya sebaiknya perempuan bekerja?
Akhirnya ada beberapa hal yang bisa saya jelaskan kepada sahabat atas pertanyaan apa yang saya cari dengan bekerja kantoran. Saya mencoba mengingat hasil diskusi saya dengan suami ketika kami memutuskan bersama bahwa saya harus bekerja lagi. Ekonomi keluarga menjadi faktor penting yang menuntut saya harus menjalani lagi profesi sebagai Ibu Pekerja.
Seperti yang semua orang juga tahu bahwa biaya hidup yang meliputi kebutuhan pangan sangat fluktuatif dan cenderung naik dari tahun ke tahun. Sedangkan kenaikan gaji tidak selalu berbanding lurus dengan kenaikan harga sembako. Kalau cuma untuk makan sehari-hari, kita yang dewasa mungkin rela melakukan puasa senin kamis demi menghemat belanja bulanan. Selain itu dengan berpuasa kita juga menjalankan ibadah, jadi selain irit kita bisa mengharap pahala. Tapi coba untuk susu anak, apakah kita rela melakukan pemangkasan biaya? Apakah kita akan membiarkan anak minum susu hanya senin-kamis?
Setelah merasakan menjadi kontraktor alias ngontrak rumah sana sini selama 5 tahun, membuat kami berpikir untuk memiliki rumah tinggal sendiri. Keluarga mana sih yang tidak bercita-cita memiliki rumah tinggal sendiri? Memiliki rumah tinggal walaupun belum mencapai titik Rumah Idaman, tetap saja membutuhkan banyak uang karena kenaikan harga tanah tidak kira-kira dari waktu ke waktu. Dan hal ini sulit dipenuhi oleh keluarga baru seperti kami tanpa mengandalkan cicilan dari bank. Kalau hanya mengandalkan gaji suami untuk membayar cicilan, tentu akan sulit. Karena gaji suami pasti sudah terkuras untuk kebutuhan pangan, pendidikan anak, gaji pembantu, juga biaya operasional rumah.
Untuk keluarga yang sudah memiliki anak usia sekolah, biaya pendidikan juga menjadi pengeluaran yang tidak kalah besar. Inflasi biaya pendidikan selalu mengalami kenaikan 10-30% setiap tahun (mulai biaya SPP, buku pelajaran, seragam sampai alat tulis). Untuk keluarga yang belum memiliki anak atau sudah punya anak tapi belum memasuki usia sekolah, sebaiknya pun sudah mulai untuk menyisihkan sebagian penghasilan untuk dana pendidikan anaknya kelak. Karena semakin dini kita menyisihkan, semakin besar dana yang akan kita miliki.
Yang tidak kalah penting nih, kewajiban untuk memiliki kendaraan. Karena kendaraan pribadi sangat dibutuhkan untuk sebuah keluarga yang hidup di pinggiran sebuah kota besar. Apalagi dengan posisi kantor yang berada di tengah kota, sementara tempat tinggal sanggupnya beli di pinggiran. Kondisi kendaraan umum di Indonesia yang masih kurang nyaman dan aman tentu membuat setiap orang berjuang untuk memiliki kendaraan sendiri. Begitu juga dengan kami, keluarga kecil dengan 2 orang anak dan tinggal di selatan Jakarta (bukan Jakarta Selatan yah…masih lebih jauh lagi soalnya) sementara kantor suami tidak jauh dari Monas. Untuk membeli motor, rasanya tidak mungkin. Karena kendaraan ini selain kami pakai untuk ke kantor juga akan kami pakai untuk berpergian dengan anak-anak. Kami khawatir membawa 2 orang anak berpergian jauh dengan motor. Jadi kami memutuskan untuk membeli mobil dengan menyicil di bank. Mhmmmm…pengeluaran dan hutang kami semakin besar saja yah.
Itu belum termasuk cita-cita kami untuk bisa menjalankan ibadah haji, kebutuhan akan liburan, dan terus melanjutkan sekolah sampai ke jenjang yang tak terhingga. Karena kami ingin memberi contoh ke anak-anak bahwa kami tetap ingin belajar walau usia sudah bertambah. Semoga dengan contoh ini anak-anak lebih bersemangat untuk menuntut ilmu.
Jadi bekerja untuk UANG? Yah memang begitu kondisinya. Memang uang bukan segalanya…tapi segalanya bisa kita lakukan saat ini kalau kita memiliki uang!
Saya tidak merendahkan keberadaan suami saya. Dan saya tidak bilang bahwa suami saya tidak dapat mencukupi hal tersebut diatas. Buktinya sekarang saya bisa menikmati hidup cukup layak, menempati rumah mungil milik sendiri, dan memiliki mobil yang bisa mengantarkan saya dan anak-anak kemanapun. Semuanya ini hasil keringat beliau kok. Saya tidak dapat memungkirinya.
Saya dan suami percaya bahwa rejeki setiap keluarga sudah ditetapkan oleh NYA dan datangnya rejeki tersebut bisa melalui siapapun. Rejeki untuk keluarga kami bisa datang dari suami atau bahkan melalui saya selaku istrinya. Rejeki itu sudah diatur dan disiapkan, tinggal bagaimana cara kita menjemputnya saja.
Kalau saat ini penghasilan suami saya lebih besar, berarti itu jalan Tuhan dalam memberi rejeki yang sudah diaturNYA. Kalau nanti penghasilan saya lebih besar dari suami, itu juga pasti jalan Tuhan yang lain sebagai bagian dari rencanaNYA. Jadi suami atau istri tidak boleh merasa sombong ketika penghasilannya lebih besar, atau merasa rendah diri ketika penghasilannya lebih kecil. Justru kita harus bisa memanfaatkan kondisi tersebut untuk mencapai cita-cita financial keluarga.
Ketika saya berdiskusi dengan suami tentang pekerjaan, suami saya berterus terang dan mengungkapkan perasaannya bahwa sebenarnya dia memang ingin saya tetap bekerja. Karena tuntutan ekonomi yang sedemikian rupa, dia merasa belum sanggup memenuhinya sendiri. Saya juga sadar sepenuhnya, bahwa saya dan suami adalah sebuah tim yang sedang menyusun kepingan puzzle hidup keluarga kami. Kalau dia merasa belum sanggup, saya juga tidak boleh egois dengan membiarkan dirinya bekerja keras seorang diri. Karena saya yakin beliau juga punya keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi semua kebutuhan keluarga dan melihat saya dirumah mengurus keluarga.
Hasil diskusi tersebut menghasilkan sebuah keputusan bahwa saya mau tidak mau harus menjalankan profesi sebagai Ibu Pekerja Luar Rumah, sebisa mungkin saya hanya bekerja di kantor. Saat saya pulang ke rumah, saya kembali menjadi diri saya yang berupa seorang istri dari 1 suami dan sekarang ibu dari 2 anak, tanpa embel-embel WANITA KARIR.
Untuk memenuhi kewajiban saya sebagai seorang ibu, saya masih memerah susu untuk stok minum Fayra selama saya tinggal kerja. Walaupun saya hanya bisa memberikan ASI nyaris Ekslusif, tapi ini sudah yang terbaik yang bisa saya lakukan. Saya tetap memasak, mengatur jadwal anak untuk minum susu – makan – tidur, menyempatkan diri membaca cerita untuk anak-anak (walau tidak setiap malam), bermain bersama anak walau hanya 1-2 jam per hari, menata seluruh ruangan yang ada dirumah, saya pun sebisa mungkin menyempatkan diri untuk hadir di setiap acara sekolah Rafa.
Capek pasti saya rasakan. Tapi kalau kita melakukan semuanya dengan ikhlas, insya allah rasa capek akan sedikit kita rasakan (tidak mungkin kalau kita tidak merasa capek sama sekali). Selain capek, waktu yang tersisa untuk anak tidak banyak, Saya selalu mengingatkan diri saya bahwa ini lah perjuangan untuk keluarga. Dan inilah konsekuensi yang harus saya terima sebagai Ibu Pekerja Luar Rumah.
Seperti tulisan mbak wina idealnya seorang ibu bisa bekerja dari rumah. Memang enak kalau kita bisa berpenghasilan, tapi tetap punya waktu untuk antar jemput anak sekolah, sempat memandikan dan menyuapi, sempat bantu bikin PR nya, sempat bermain sepeda di taman, sempat menemani anak melihat Barney and Friends, bahkan sempat ‘ngelonin’ tidur siang sampai ikut ketiduran.
Beruntung saya mempunyai beberapa orang teman yang mempunyai misi dan pemikiran yang sama tentang deskripsi IBU PEKERJA LUAR RUMAH. Saya bisa bertukar pikiran dengan mereka tentang tujuan hidup. Dan kami saling curhat di kala pekerjaan menumpuk tapi sama-sama kangen rumah. Kami bertekad bahwa suatu hari nanti kami akan berhenti menjadi ibu pekerja luar rumah dan berubah menjadi IBU RUMAHAN BERPENGHASILAN. Memang saat ini kami masih bekerja di luar rumah untuk mengumpulkan modal dan menjalin networking demi mencapai cita-cita kami. Teman kantor bercita-cita untuk menjadi tukang kue. ;Teman baik bercita cita menjadi supir antar jemput sekolah. Teman curhat bercita cita menjadi penulis lepas dan editor. Sedangkan saya yang tidak bisa jauh dari komputer dan dunia maya memutuskan untuk menjadi pedagang onlen. Terdengar terlalu sederhana kan cita-cita kami?
Tapi ternyata untuk mewujudkan cita-cita menjadi ‘ibu rumahan berpenghasilan’ ini sungguh tidak mudah. Perlu ide bidang apa yang akan kita jadikan bisnis, perlu modal, pengetahuan, keahlian, dan motivasi kuat untuk menjalankannya. Walaupun kita melakukan usaha dirumah, kita tetap harus bisa mengatur waktu dan disiplin. Kita harus pintar membagi waktu antara mengerjakan pekerjaan rumah dengan mengerjakan bisnis.
Kalau kita kerja kantoran, kita bisa tidak peduli dengan pendapatan perusahaan karena memang kita dibayar fix perbulan. Kalau kita kerja dirumah, pendapatan kita tergantung dari hasil perjuangan kita sendiri. Kalau kerja kantoran, resiko terburuk yang kita terima adalah pengurangan karyawan atau perusahaan ditutup karena bangkrut. Tapi kalo kerja dirumah, resiko terburuk adalah tidak ada pendapatan atau bahkan uang dan tabungan yang kita pakai sebagai modal bisa amblas karena bangkrut.
Apakah anda ingin bekerja di luar rumah (kantoran) atau menjalankan bisnis dirumah, itu adalah sebuah pilihan. Semua pilihan yang diambil pasti ada resikonya. Memang menyenangkan kalau pekerjaan yang kita lakukan bisa menghasilkan, biar sedikit tapi lumayan bisa buat beli BH dan lipstik. Lebih bahagia lagi ketika yang kita lakukan ini berhasil, bermanfaat untuk orang banyak, dan suami juga ikut bahagia dan mendukung karir kita.
Jika gaji suami anda cukup besar hingga bisa mencukupi seluruh kebutuhan ekonomi keluarga, BERSYUKURLAH. Tapi tidak semua orang merasakan yang sama. Untuk itu sebagian dari kita para istri memilih untuk tetap bekerja sebagai bentuk kerjasama dengan suami untuk memenuhi ekonomi keluarga.
Gak ada salahnya kalau kita coba membantu suami dengan melakukan pekerjaan yang menghasilkan, sebagai wujud kerjasama kita dalam membangun sebuah keluarga yang kita impikan bersama suami. Kapan harus mulai melakukannya? Kenapa juga gak dimulai dari sekarang. Yukkkk..
2 thoughts on “Ibu Pekerja”
Salam kenal Mbak. Blognya bagus. Artikel yang satu ini “saya banget”. Kayaknya kita sepaham deh, he..he.. Saya punya keinginan jadi pedagang onlen tapi keadaan mengharuskan saya tetap sebagai ibu bekerja. Salut buat Mbak ya…
halo Amy,
makasih udah baca. Kayanya ini emang kita banget … keinginan sebagian besar wanita utk bisa tetap berpenghasilan tanpa melupakan kewajiban sebagai istri
Salam kenal,
sama seperti komen diatas, artikelnya “saya banget juga”.
aku baru 3 tahun nikah dan masih ngontrak, berharap bisa punya rumah dan mobil sendiri nantinya.
saya bekerja, anak baru 1, berharap juga bisa FTM tapi sekarang masih selalu berusaha menikmati sbg Working Mother yang bisa membantu keuangan keluarga.
Tulisan2 mba “inspiring” banget…
pdhl awalnya baca2 tulisan liburan ke bangkok (coz, suami mau dines dan kita skalian mau ikutan liburan).
Aku bookmark web ini biar bisa baca kapan aja.
Makasih ya mba, tulisan2 nya keren2 dan memberi inspirasi. 🙂
Hi Nia,
Makasih ya udah baca http://www.masrafa.org, semoga info ttg Bangkok nya cukup bermanfaat. Enjoy your holiday!
Nia,
Bunda byru